Senin, 12 Januari 2009


Tetap Kamu yang Salah....

Siang hari bagiku di Mapoltabes Samarinda, Senin (12/1) itu panas cukup asyik berlamun ria. Saya memang senang menyelami pikiran yang liar atau mengkhayal tak karuan. Tapi itu candu dan saya makin asyik saja duduk di bangku panjang cat minyak coklat bersih di depan ruang Kanit Tipiter Reskrim.

Kelamunan ku pecah. Rekan wartawan televisi menegurku. "Nggak cari berita kah, jangan main kutip saja berita itu kasihan media mu," katanya menghadapkan wajahnya. Saya pun memperbaiki posisi badan menjawab. "Iya nih mau ke Pelabuhan Samarinda," kataku menjawab pertanyaan pertama.

Pembicaraan rupanya semakin meninggi. Saya sebagai wartawan, dikritik. "Kamu kemarin salah dengan bu Nana (jubir RSU) tidak konfirmasi langsung. Ya kan," katanya. Saya pun terkejut mendengarnya. Rekan wartawan ini semakin ingin menjelaskan duduk persoalan.

Saya mencoba tenang dengan walau hati sudah emosi. "seharusnya kalau konfirmasi langsung saja telepon. Kan dia nggak tahu kamu dari Tribun menelponnya," katanya dia yang semakin ku benci. Apakah dia tahu kejadian sebenarnya, pikirku.

Tapi saya mencoba mendalami dengan bertanya balik. "Ada ketemu bu Nana kah?." tanyaku. Rekan wartawan memegang kamera dan tripiod itu menjawab memang telah ketemu. "Ada bu Nana bilang dihadapan wartawan katanya dia nggak mau lagi wawancara lewat telepon," kata wartawan rekan yang mulai saya lagi benci ini.

Rekan wartawan ini lalu menjawab kepada Bu Nana bahwa dirinya tidak mungkin mengangkat berita ke media karena harus ada gambar. "Sampai menangis darah bu, berita saya tidak mungkin diangkat karena perlu visual," jelasnya yang ku anggap semakin tak solidaritas sesama wartawan. Dia sudah memojokan.

Saya pun mulai berani dan mennjelaskan persoalan dengan alibi saya. Dengan santun dan beretika saya mulai mengeluarkan penjelasan. "Gini ini mungkin benar atau salah ya. Sebenarnya," kataku yang langsung dipotongnya.

"Tetap kamu salah," katanya kali ini mengejutkan ku. Rekan yang ku anggap ini mulai kurang bersimpati. "Saya tahu kamu ada kan waktu Sau (inisial) wartawan web site digital lagi wawancara. Suaranya di loud speaker terus kamu dengar kan," katanya

Kronologis itu semakin memojokan. Dalam hati, saya pun sudah mengerti posisi saya dan dia sebagai rekan wartawan bagaimana dia mengambil posisi terhadap persoalan ini. Menurut saya, dia telah berbuat menghakimi.

Saya pun terakhir membalas kata-kata penjelasan. "Bahwa wawancara bersama saya dan rekan saya media cetak telah konfirmasi dengan pembicara wartawan web site digital agar mengkonfirmasi bersama dan telah menyebutkan dua media saya," kataku terakhir untuk tidak berdebat panjang.

Rekan wartawan yang mulai ku tak suka ini pun tetap membalas kata-kata saya. "Sau tak pernah ngomong," katanya semakin meyakinkan. Ini sudah menjadi pelajaran saya diceramahi satu rekan saya yang sangat sok tahu ini.

Saya merasa tak terima perlakuan ini diam dan menunggu rekan saya wartawan media cetak di dalam ruangan. Tak berselang lama, saya membagi gundah ini kepada rekan satu nasib atas persoalan ini.

Rekan senasib saya ini berpikir strategis dan egois bahwa ini benar. "Memang disini wartawan saling merasa benar dan paling hebat. Saya juga dibegitukan, tapi saya buktikan saya bisa. akhirnya dia juga bilang coba kasih tahu yang tua ini," katanya.

Meski diantara wartawan terjadi persoalan yang tak bisa kompak dan saling percaya. Rekan media cetak senasib saya ini hanya percaya dua wartawan dianggapnya masih bagus dan jadi panutan. "Kalau bang Am baik dan pendiam. Aku percaya sama dia. Tapi lainnya tidak. Semua saling meninggalkan kalau ada masalah," katanya. (Ini hanya fiktif jangan dimasukan dalam hati cuma kekesalan di dadaku)

Tidak ada komentar: