Senin, 22 Desember 2008

Wawancara Dengan Kepala Kejati Kaltim


Besar dari Kehidupan yang Jauh Hingar bingar Kota Metropolis
"De, tulisnya hati-hati ya," kalimat itu sering ia luncurkan kepada saya, taufik wartawan Poskota dan Fajar wartawan majalah Bongkar. Saya bertiga mewawancari pejabat setingkat Gubernur Kaltim yakni Kepala Kejaksaan Tinggi Kaltim Iskamto SH di ruang kerjanya.
Kalimat-kalimat itu meluncur bukan karena mengancam atau mendikte pekerja jurnalis, tapi itu semua demi alasan kebaikan. Pertama, menurut bapak dikarunia dua anak ini tulisan wartawan sangat memberi dampak begitu dahsyatnya. "Lewat tulisan, seseorang bisa remuk..remuk dia...hancur tergenjet-genjet," kata Iskamto.
Kedua, menurutnya lagi profesi wartawan paling ditakuti dimana pun apalagi di dunia demokrasi seperti sekarang negara Indonesia. Hal itu tak terlepas dari teknis kerja wartawan yang mengharuskan mewawancarai setiap pejabat level atas dengan setiap lini. Dan ketiga, tulisan wartawan bila salah-salah bisa merusak hubungan manusia bisa juga membawa kebaikan hubungan itu, tergantung yang menulis.
"Saya minta tolong de, tulisnya diperhalus. Saya ini sering ceplas-ceplos tapi jangan ditulis (mentah- mentah,red). Saya tidak ingin merusak hubungan dengan orang lain (pejabat-pejabat daerah, red). Saya maunya fokus bekerja (mengusut kasus pidana di Kaltim, red)," kata Iskamto dengan isyaratkan kedua tangannya menunjuk ke wajah saya.
Karena, kasus ditangani Kejati adalah pejabat. Lebih jauh, pria berumur 55 tahun ini membantah bila dirinya, ada apa-apanya berhubungan dengan para pejabat tinggi. Ia pun tak mau dituduh bila berkata "hati-hati menulis karena berhubungan dengan pejabat" agar tidak diusik jalinan harmonis dengan pejabat. "saya ini tidak kenal pejabat-pejabat sini..eh bukannya saya tidak kenal (atau sombong,red) tapi saya ini pokoknya kerja," kata Iskamto buru-buru menampik persepsi yang buruk. Kepala Kejati ini pun tak punya teman atau pejabat karena tak mahir bermain golf, permainan kelas atas. Apalagi datang ke tempat hiburan mewah seperti restaurant atau cafe malam kelas elit.
Bahwa kebiasaan itu tidak terdapat dirinnya karena Bapak yang pernah menjabat Kepala Kejari Jakarta Selatan ini dibesarkan lingkungan yang jauh dari bingar-bingar kota metropolis yaitu Sumenep.
Setiap harinya ia hidup agamis. "Pagi saya sekolah, siang saya madrasah. Sore bantu orang tua. Malam hari dengar "Yasin wal qur anul hakim"," jelas Iskamto. Tidak ada, hiburan malam cafe atau suara musik, juga tidak ada kendaraan motor mobil lewat. "Semua ada di rumah, jam 8 malam sunyi," katanya.

Pernah Dilempar Batu
Menjabat Kepala Kejati NTB (Nusa Tenggara Barat) tidak mudah. Masyarakatnya terkenal keras berimbas kepada keselamatan jiwanya. HIngga dirinya pernah terancam jiwanya ketika bertugas. "Mobil saya pernah dilempar batu sampai pecah. Begitu juga kantor dan rumah saya.Padahal kasus yang dituntut masyarakat, saya sudah tak jelaskan ini loh surat Kejakgung," kata Iskamto lagi-lagi tangan ikut menjelaskan dengan berpantomim mengadahkan surat.
Pada saat kejadian itu, LSM dan anggota masyarakat menolak adanya penangguhan tahanan atas Gubernur provinsi NTB saat itu yang terlibat korupsi. "Saya sudah jelaskan bahwa kalau pejabat Gubernur tidak bisa diperiksa atau ditahan tunggu izin Presiden. Wah, tidak keluar-keluar izinnya," katanya.
Sukamto melanjutkan ceritanya dengan bercanda. "Nah, pas dia tersangka lengser menjadi mantan Gubernur. Jaksa menyikatnya. Sekarang pak Kepala Kejati sana yang menahannya," kata Iskamto yang juga berkeluh kewenangan Kejaksaan memeriksa para pejabat petinggi pemerintah daerah.
Menandatangani SP3 Mantan Presiden RI Soeharto

Sewaktu menjabat Kepala Kejari Jakarta Selatan, Iskamto secara tegas me SP3 kan kasus yayasan Supersemar dengan tersangka mantan Presiden RI Soeharto. Alasan untuk menyetujui menghentikan proses hukum itu karena tersangka sakit. "Jadi ada 11 dokter-dokter gelar profesor yang menangani kesehatan pak harto, semua di scan dan bilang secara pandangan medis pak harto sakit dan tak bisa apa-apa," cerita Iskamto. Menurutnya, SP3 itu harus jelas ketentuannya jangan sampai menggantung orang dengan proses hukum yang tidak jelas.
Pengalaman menarik lagi, secara langsung Iskamto menyerahkan surat SP 3 kepada keluarga pak Harto. "Saya serahkan pada putrinya," katanya. Di rumah sakit, saat Sukamto menyerahkan surat tersebut, sudah ada pak Harto terbaring sakit. "Dia tidak tahu siapa pak Iskamto, pikirnya siapa. Pak Harto mungkin hanya gelengkan kepala yang sakit waktu itu," kata Iskamto bercanda.

1 komentar:

david santos mengatakan...

Aku suka pekerjaan mu
Semoga hari mu menyenangkan